Wiratno (22300011004)
Tugas Akhir Matakuliah Studi Islam: Teks, Konteks dan Metodologi
Dosen: Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D
Pendahuluan
Kuburan dan politik memang tidak ada hubungannya, baik secara epistemologi maupun Hermeneutika, kuburan memiliki makna luas, tidak hanya memiliki makna secara fisik semata, sebagai sebuah bidang tanah yang disediakan untuk menguburkan mayat. Namun kuburan bisa dimaknai sebagai sebuah kematian, lubang yang dalam, bahkan bisa bermakna sebuah kegagalan. Pun demikian dengan kata politik, sebagaimana kuburan, politik tidak hanya gabungan dari dua kata “poly” dan “etic” yang jika diserap dari bahasa Yunani dimana poly berarti kota dan etic adalah baik, sehingga politik dimaknai sebagai pengelolaan kota yang baik. Disisi lain jika politik diambil dari serapan bahasa Belanda “politiek” maka bisa didefinisikan sebagai proses pembentukan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.1
Kuburan Politik, dalam tanda petik bisa dipahami sebagai akhir dari sebuah proses politik, dapat pula diartikan sebagai jebakan karir politik seseorang, maupun lubang kegagalan dari sebuah proses politik bahkan bisa dipahami sebagai kematian politik itu sendiri. Bisa dicontohkan ketika Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A) sebagai salah seorang pemikir Islam, cendekiawan, budayawan dan salah satu tokoh neo-modernis Islam di Indonesia setahun menjelang pemilu 1971 mengumandangkan “Islam Yes, Partai Islam No”,2 sebagaimana dikutip Prof. Yudian dalam bukunya Maqoshid Syari’iyah Dalam Pergumulan Politik. Ketika slogan Islam yes, partai Islam no kemudian diterapkan sepenuhnya di Indonesia, maka akan menjadi Kuburan Politik bagi perkembangan Islam di Indonesia, karena Islam tidak lepas dari politik dimana partai politik berhaluan Islam ada didalamnya. Demikian pula dengan istilah Politik Kuburan juga dalam tanda petik, lebih spesifik dipahami sebagai proses penggunaan ‘kuburan’ dalam arti luas untuk kepentingan-kepentingan politik praktis, utamanya untuk mendapatkan simpati dan atau mendulang suara dari orang-orang yang suka dengan kuburan.
Kematian, Makam dan Kuburan
Kematian
Kematian adalah satu kata yang dikhawatirkan oleh banyak orang, bahkan selalu memikirkan satu hal ini. Umumnya orang menjadi ketakutan dengan yang namanya kematian. Betapa tidak. Kematian akan memisahkan kita dengan orang-orang tersayang, orang-orang tercinta, dan orang-orang yang menjadi gantungan hidup kita. Begitu pula, kematian akan membuat kita meninggalkan kesenangan hidup kita di dunia ini, baik berupa kepemilikan harta, tahta, dansemua kenikmatan duniawi lainnya. Islam salah satu agama agama yang mengajarkan penganutnya untuk menyiapkan segala daya dan upaya untuk siap menjemput kematian. Setiap detik, menit, jam, dan harinya diharuskan untuk diisi dengan amal ibadah yang nantinya akan menjadi bekal setelah kematian. Ada orang yang selama hidupnya diliputi dengan kemiskinan sehingga yang begitu berharap dapat hidup kaya di alam setelah mati nanti. Ada orang yang selama hidupnya dipenuhi ketidakadilan sehingga ia begitu berharap beroleh keadilan di alam nanti. Ada yang hidupnya begitu terobsesi dengan seks, sehingga ia berharap hidupnya di alam nanti dapat dilayani 72 bidadari yang siap melayani siang malam dan lalu kembali menjadi perawan.
Satu hal yang paling dasar yang perlu diketahui adalah bahwa semua makhluk hidup itu awalnya adalah “tidak ada” lalu kemudian menjadi “ada” dan akhirnya kembali menjadi “tidak ada”. Ini adalah siklus yang alami. Suatu proses yang mesti terjadi. Suatu hukum yang pasti. Tidak ada yang hidup abadi. Kita berasal dari sesuatu yang tidak ada, dan akan kembali pada kondisi tidak ada. Kehidupan manusia dimulai dari bertemunya sperma dan sel telur, lahir, anak-anak, dewasa, tua, dan kemudian mati. Ini siklus yang normal. Ada siklus hidup manusia yang hanya sampai pada fase anak-anak sudah meninggal. Ada siklus hidup manusia yang hanya sampai pada fase dewasa sudah meninggal. Ini juga siklus normal. Tidak ada yang istimewa dengan kehidupan, dan tidak ada yang istimewa dengan kematian. Kita hanya menjalani sebuah siklus. Sebuah proses kehidupan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di alam semesta. Hukum ini tidak bisa diubah, dia akan berjalan seperti adanya dan akan berlaku pada siapapun dan kapanpun. Tak bisa ditolak, setiap yang ada pasti akan kembali pada tiada.
Makam
Dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia ada istilah makam yang bisa diartikan sebagai tempat tinggal, kediaman, bersemayam, yang merupakan tempat persinggahan terakhir manusia yang sudah meninggal dunia, kosa kata ini sudah sering didengar, diucapkan, ditulis. Masyarakat secara umum sangat familier dengan kata "makam" yang merupakan sebutan dari kuburan, kuburan adalah tanah tempat menguburkan mayat itu berasal dari bahasa Arab "kabr" ( jamak ; kubur ) yang berarti memendam, melupakan, memasukkan, mengebumikan3, adapun perkataan yang sinonim dengan kabr ada tiga macan yaitu ; maaf’an, makbarah, dan dhari, sedangkan orang mati syahid di sebut masyhad.4 Arti lainnya kata makam diberi arti ‘kubur’, grave, resting place, burial plot; mengantarkan jenazah ke makam”.5 Kata makam juga berarti ‘tempat, tempat tinggal, dan kediaman. Kata makam berasal dari kata maqam yang berarti tingkatan. Di dalam Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia), A.W. Munawwir (1984) menyebutkan, bahwa kata maqaam berasal dari kata qaa-ma, ya-quu-mu, qi-yaam, yang berarti ‘naik/meningkat, berdiri, bangkit, bangun, berangkat’. Dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, Hans Wehr (1974) mengartikan maqaam dengan ‘site, location, position, place, spot, situation, station, standing, rank, dignity.’ Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Cyril ClassÄ“ (1999) memberi arti maqam dengan “tempat berdiri”, sebuah stasiun spiritual, semisal kesalehan sikap atau sebuah sikap yang muncul sebagai corak jiwa yang dominan.
Makam merupakan sebutan dari sebuah bangunan sebagai sarana dari penguburan jenazah orang musIim. Bangunan tersebut biasanya didirikan diatas permukaan tanah di liang kubur jenazah, uraian tersebut juga diperkuat oleh pendapat A.Hasymy dalam bukunya " sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. BeIiau mengatakan bahwa makam merupakan pandam pekuburan bagi para ulama, sehingga makam merupakan sebutan yang pantas bagi penguburan khusus orang-orang muslim atau para wali saja.6 Sebutan lain bagi kuburan khusus para wali digunakan istilah Al-Dharieh. Istilah Al-Dharieh ini lazim digunakan oleh orang-orang Arab untuk menyebut kuburan para wali, dan para ulama. Di Jawa Timur terutama pesisir utara Jawa, bagi masyarakat yang beragama Islam lebih menyukai penggunaan istilah makam, sedang kubur atau kuburan adalah istilah umum yang sangat luas daerah pemakaiannya di kepulauan lndonesia.
Kuburan
Bagi orang-orang yang terpandang dalam masyarakat, para raja, para bangsawan, dan para wali agak lazim di gunakan istilah "pasarean", "asatana" (sentono), sedangkan bagi makam-makam lama yang dipandang keramat sering di gunakan istilah "Dungkup” atau “Cungkup”. Istilah pasarean adalah kata jadian berasal dari bahasa Jawa kawi yang berarti peraduan, tempat tidur, pekuburan dan makam.7 Dalam masyarakat Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dikenal Pasarean Imogiri, yaitu lokasi peristirahatan terakhir Raja-Raja Mataram dan keluarganya. Kompleks pemakaman ini terletak kurang lebih 16 km di sebelah selatan Keraton Yogyakarta, tepatnya di wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Imogiri berasal dari kata himo dan giri, dimana hima berarti kabut dan giri berarti gunung, sehingga Imogiri bisa diartikan sebagai gunung yang diselimuti kabut.8 Pemilihan bukit sebagai lokasi makam tidak dapat dilepaskan dari konsep masyarakat Jawa pra Hindu yang memandang bukit, atau tempat yang tinggi, sebagai suatu tempat yang sakral dan menjadi tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Selain itu, pemilihan lokasi di tempat yang tinggi pun merupakan salah satu bentuk kepercayaan masyarakat Hindu yang menganggap semakin tinggi tempat pemakaman, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaannya.
Pasareyan Imogiri atau sering disebut juga dengan pemakaman Pajimatan tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Mataram Islam. Kompleks Makam Imogiri dibangun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1632 M. Kompleks makam Pajimatan terletak di Gunung Merak dan oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah Pajimatan. Letak geografis komplek Makam Imogiri berada di atas sebuah bukit dengan ketinggian +150 M. di atas permukaan laut. Pemilihan lokasi di tempat yang tinggi mengingatkan pada konsep kepercayaan masa prasejarah bahwa arwah nenek moyang bersemayam di tempat yang tinggi, dan di arena yang paling tinggi itulah lokasi yang paling sakral.
Kompleks makam ini didirikan sebagai tempat pemakaman raja-raja Mataram beserta keturunannya, dan kemudian juga dipakai untuk pemakaman raja-raja Kasultanan Yogyakarta dan raja-raja Kasunanan Surakarta. Sebelum membangun makam di Pajimatan Sultan Agung pernah memerintahkan membuat makam. Orang yang dipercaya untuk membangun makam tersebut adalah Panembahan Juminah yang masih kerabat dekat (paman) Sultan Agung, seperti yang diungkapkan H.J. De Graaf. Namun pembangunan makam belum selesai Panembahan Juminah meninggal dunia dan dimakamkan di makam yang dibangunnya. Makam tersebut adalah Makam Girilaya. Sultan Agung kemudian membuat makam yang lain dan yang sekarang dikenal dengan nama Makam Pajimatan Imogiri. Sultan Agung adalah raja pertama yang dimakamkan di kompleks makam ini dan letaknya berada di tempat tertinggi. Dengan kata lain tempat tertinggi berarti yang paling sakral atau paling dihormati. Bangunan yang paling tinggi di pemakaman Pajimatan adalah makam Sultan Agung yang terletak di Kedhaton Sultan Agungan. Untuk mencapai makam itu para pengunjung jika sudah sampai di halaman ke empat harus melewati gapura papak. Makam Sultan Agung dilindungi oleh sebuah cungkup yang bernama Prabayeksa.9 Makam Sultan Agung yang terletak di bagian paling atas di kompleks pemakaman tersebut seolah menjadi pusat dari kedhaton yang dibuat setelahnya.
Sedangkan kata "Asatana" kemudian lebih dikenal dengan kata “Astana” berasal dari bahasa Sansekerta "Stha" yang berarti berdiri, tinggal, tempat danistirahat. Jadi Astana berarti pula pekuburan para raja. Bagi masyarakat kota Solo dan sekitarnya, ada sebuah astana yang tidak asing lagi yaitu Astana Mengadeg dan Astana Giribangun, astana ini memang bukanlah nama asing. Hampir semua orang mengetahui tempat pemakaman ini. Orang mengenal Astana Giribangun karena makam ini merupakan makam mantan orang nomor satu di era Orde Baru yaitu mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Astana Giribangun merupakan salah satu makam para leluhur keluarga besar Mangkunegaran, yang lokasinya tak jauh dari Astana Mangadeg. Makam ini terletak di kaki Gunung Lawu dan terletak sekitar 38 km ke arah Timur Kota Solo. Makam ini tepatnya berada di Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Astana Giribangun dibangun pada tanggal 27 November 1974 dan mulai diresmikan pemakaiannya pada tanggal 23 Juli 1976. Pembangunan Astana Giribangun memang sudah lama dipersiapkan oleh mantan Presiden Soeharto. Dari kedua istilah “pasarean” maupun “astana” sama-sama memiliki anggapan bahwa makam-makam tersebut sebagai tempat berbaring dan tempat kediaman untuk peristirahatan para leluhur yang telah meninggal dunia khususnya orang-orang “linuwih” terutama raja-raja dan keluarganya.
Ziarah Kubur
Ziarah dalam tradisi Islam merupakan bagian dari ritual keagamaan untuk mengunjungi dan mendoakan orang yang telah meninggal serta, telah menjadi kebudayaan dalam masyarakat. Kebudayaan sendiri memiliki pengertian sebagai seluruh cara hidup masyarakat atau seluruh aspek pemikiran dan perilaku manusia yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain melalui proses pembelajaran. Budaya ziarah kubur dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah sangat sedemikian akrab. Ritual ziarah (dalam budaya Jawa sering disebut nyekar) yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia bukan tanpa sebab maupun tujuan, akan tetapi setiap tindakan pasti ada penjelasannya. Berbicara mengenai fenomea ziarah kubur adalah suatu hal yang tak bisa dihindari dalam kehidupan. Terutama dalam kehidupan masyarakat tradisional, sudah jamak dalam kehidupan masyarakat tradisional sering melakukan ziarah kubur, bukan saja berziarah kemakam sanak saudaranya melainkan juga berziarah kemakam-makam yang dianggap mempunyai keramat. Masalah makam keramat sering dikaitkan dengan keadaan seseorang sewaktu hidupnya, diantaranya karena selama hidupnya mempunyai keutamaan dalam berbagai segi, terutama dalam pengalaman agamanya atau karna sanggup melaksanakan hal-hal yang di luarjangkauan akal fikiran manusia, atau karena bisa menyembuhkan penyakit orang hanya dengan memberi segelas air putih lalu sipasien dapat sembuh. Cerita di atas tidak jarang ditemui ditengah masyarakat. Terdengar berbagai cerita yang menggambarkan kejadian-kejadian yang luar biasa yang terjadi pada beberapa orang. Orang yang demikian dalam kehidupan tasawuf disebut “Waliyullah”. Menurut anggapan umat, orang yang demikian disebabkan karna sangat dekat dengan Allah Swt, sehingga apapun yang dimohonkan kepada Allah akan dikabulkan.
Karomah (kekeramatan) para wali itu benar adanya, karomah yaitu timbulnya kejadian luar biasa pada diriwali yang bukan atas kehendak mereka, juga tidak diupayakan, Allah lah yang memberlakukan yang demikian pada diri mereka, meskipun mereka tidak mengerti mengapa terjadi demikian10. Para wali atau syekh dipercayai sebagai orang keramat dan mempunyai derajat yang tinggi. Hal tersebut disebabkan hubungan yang dekat dengan Allah SWT. Yang diperoleh atas dasar keimanan kepada Allah Swt, membenarkan risalah para nabi dan rasul, serta secara lahiriah keimanan itu diwujudkan dengan melakukan amal saleh yang menjalankan semua syari’at islam secara istiqomah. Pada gilirannya orang yang istiqomah dalam beragama akan bertambah dekat dengan Allah dan meraih kewalian khusus serta mendapat keramat atau penghargaan dari Allah baik yang bersifat maknawimaupun yang bersifat fisik indrawi. Keramat bukan hasil usaha seorang hamba bukan tujuan dan bukan esensi kewalian melainkan semata-mata penghargaan dari Allah. Menurut pertimbangan akal yang sehat pemberian keramat kepada wali atau syehk oleh Allah tidaklah mustahil dan hal itu adalah mungkin, sebagaimana pendapat Jumhur ahli sunnah tiada satu mazhab yang empat memungkiri atau menolak adanya keramat sesudah mereka meninggal dunia. Bahkan timbulnya keramat sesudah meninggal itu lebih nyata dan lebih menonjol karna dirinya dalam keadaan bersih dialam barzah.
Konsepsi awal ziarah kubur sejatinya, ialah untuk mengingatkan kembali bahwa manusia akan kembali kepada Tuhan dan akan mendapat perlakuan sama di hadapan Tuhan kecuali Iman dan Taqwanya semasa hidup11. Konsep awal ini mengarah pada nilai-nilai ketuhanan yang dibawa oleh ajaran Islam. Menurut Clifford Geertz, ritual-ritual dalam masyarakat Jawa khususnya, tidak hanya berfungsi untuk mengingatkan kembali akan Tuhan, akan tetapi juga sebagai suatu media penghubung atau jembatan individu manusia dengan Sang Pencipta “sing gawe urip”. Perilaku masyarakat Jawa yang demikian kemudian melahirkan pola-pola perilaku tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Pola-pola perilaku manusia kemudian akan melahirkan simbol-simbol sebagai suatu ekspresi akan suatu identitas yang ingin disampaikan. Pada zaman permulaan Islam Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menziarahi kuburan, karena dikhawatirkan terjadi kemusrikan dan pemujaan terhadap kuburan tersebut.12 Apabila yang sudah mati itu adalah termaksud orang yang saleh. Hal itu dikarenakan keadaan masyarakat disaat itu masih rentang keimannya, sehingga dikhawatirkan mereka cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Disamping itu juga mereka di khawatirkan datang ke kuburan untuk menyembah dan memujanya seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah, hal ini dapat menimbulkan masalah apabila dihubungkan dengan aqidah mereka. Tetapi ketika aqidah mereka kuat, barulah Rosulullah memperbolehkan mereka berziarah kubur, itu dengan maksud agar mereka mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia (Ahli Kubur) agar senantiasa mereka ingat akan mati dan ingat adanya hari kiamat.
Kuburan Politik
Ada sebuah tesis yang dilontarkan oleh seorang penulis yang bernama Gan Gan R.A dalam media online sangpencerah.id, media milik Muhammadiyah, dalam tulisannya Gan Gan R.A mengatakan “Tragedi demokrasi dan kejahatan HAM yang tidak dituntaskan oleh proses dunia peradilan bahkan oknum dari pihak aparat keamanan yang bersikap represif, sama sekali tidak tersentuh hukum, sesungguhnya akan menjadi kuburan politik dalam lembaran sejarah rezim Jokowi dan langkah kuda Jenderal Baret Merah”.13 Jenderal Baret Merah yang dimaksud adalah Prabowo. Isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Prabowo Subianto utamanya keterlibatan Prabowo dan Tim Mawar (Grup 4 Kopassus) dalam aksi penculikan sejumlah aktivis pada tahun 1998 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap elektabilitas Prabowo, terbukti Prabowo bisa melenggang tanpa hambatan berarti dalam kiprahnya didunia politik pasca lengsernya Suharto.
Presiden BJ. Habibie mencopot Letnan Jenderal Prabowo Subianto kala itu dari jabatan Panglima Kostrad, kemudian Prabowo dikirim ke Bandung menjadi Komandan Sesko ABRI, dan kemudian diberhentikan dengan hormat atas rekomendasi eputusan Dewan Kehormatan perwira (DKP). Pangkat Letnan Jenderal ternyata belum membawa keberuntungan dalam dunia politik, terhitung sebanyak 4 kali Prabowo berupaya memenangkan Pemilu dan tiga kali bertarung sebagai capres secara berturut-turut. Pada tahun 2004, mantan Komandan Jenderal Kopassus itu berambisi menjadi calon presiden dengan mengikuti konvensi capres Partai Golkar. Namun Prabowo kalah bersaing dengan beberapa tokoh yang akhirnya dimenangkan Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto, Setelah kalah dalam konvensi Golkar, Prabowo memutuskan keluar dan membangun kendaraannya sendiri dengan mendirikan Partai Gerindra.
Dalam Pilpres 2009, Prabowo berpasangan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres. Namun, ia harus mengakui keunggulan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada masa itu.14 Setelah kalah di Pilpres 2009, Prabowo kembali bertarung di Pilpres 2014 kali ini sebagai calon presiden berpasangan dengan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Prabowo-Hatta diusung oleh Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB, yang menamakan diri Koalisi Merah Putih (KMP). Lawannya, head to head, adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung oleh PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura. Koalisi ini bernama Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pilpres yang disebut banyak pihak sebagai bibit polarisasi masyarakat itu akhirnya dimenangkan Jokowi-JK dengan 53,15% sementara Prabowo-Hatta 46,85%. Pada Pilpres 2019, ambisi Prabowo untuk memimpin Indonesia belum padam. Dia percaya diri maju lagi sebagai calon presiden, kali ini dengan menggandeng sesama kader Gerindra yaitu Sandiaga Uno sebagai cawapres. Pasangan ini diusung gabungan parpol Gerindra, Demokrat, PAN, PKS dan Partai Berkarya yang menamakan diri Koalisi Indonesia Adil Makmur. Prabowo kembali head to head melawan Jokowi yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin. Koalisi ini diusung oleh PDIP, Golkar, PKB, NasDem, PPP, Hanura, PKPI dan didukung Perindo, PSI, PBB dan menamakan diri Koalisi Indonesia Kerja. Hasil Pilpres 2019, Prabowo kembali kalah lawan Jokowi. Dalam angka, Jokowi-Ma'ruf unggul 55,5%, Prabowo-Sandi 44,5%.
Akankah kekalahan 3 kali dalam pertarungan pemilihan presiden ini akan menjadi Kuburan Politik Prabowo, sebagaimana tesis dari Gan Gan R.A?, rasa-ranya kok tidak. Kini mantan Jenderal Baret Merah itu telah berada Kabinet Indonesia Maju, bahkan disposisikan dalam posisi yang sangat terhormat dan strategis sebagai Menteri Pertahanan sesuai dengan latar belakang dan kompetensi Prabowo Subianto. Rekonsiliasi yang dimulai di stasiun MRT ketika itu sejatinya banyak ditentang oleh para pendukungnya. Di mata pendukung Prabowo, rekonsiliasi adalah ruang politik transaksional yang akan menghancurkan misi utama perjuangan rakyat. Rakyat merindukan hadirnya Pemimpin nasionalis, visioner dan revolusioner, bukan badut atau boneka tanpa otoritas yang hanya dikendalikan oleh syahwat politik ekonomi sekelompok bohir hitam.
Meskipun sudah kalah berturut-turut, Prabowo justru menjadi tokoh pertama yang mendeklarasikan dirinya untuk maju sebagai Capres di Pemilu Serentak 2024 kelak. Ia menyebut sikapnya sebagai pejuang. Yaitu meski kalah berkali-kali, namun bangkit untuk kembali berjuang. Rapimnas Gerindra yang dilaksanakan selama dua hari pada 12 dan 13 Agustus 2022 di Sentul Internasional Convention Center (SICC), tak hanya mengukuhkan Prabowo sebagai capres 2024, Prabowo dan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang hadir dalam acara tersebut bersama-sama mendeklarasikan koalisi mereka. Gerindra-PKB sepakat menandatangani piagam kesepakatan koalisi Pilpres 2024. Kedua pihak pun mulai meramaikan wacana memasangkan Prabowo-Cak Imin sebagai capres-cawapres di 2024. Gabungan Gerindra dan PKB telah memenuhi syarat pencapresan di 2024, yakni 23,63% atau 136 kursi. Sekali lagi akankah kekalahan Prabowo 3 kali di pemilihan presiden, 2009, 2014, 2019 menjadi Kuburan Politik baginya, waktu yang akann menjawab
Ilustrasi lain terkait dengan istilah Kuburan Politik sebagaimana dicontohkan pada kasus Prabowo diatas adalah kasus Anas Urbaningrum, dalam sebuah berita media online, kasus Hambalang menjadi Kuburan Politik bagi Anas Urbaningrum. Sebagaimana diketahui setelah selesai menyelesaikan amanahnya sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1997-1999, Pada tahun 2001, ia dipercaya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyiapkan Pemilu 2004. Anas dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Ketua KPU Nazaruddin15. Namun, keberadaan Anas di KPU tak bertahan lama. Anas mengundurkan diri pada 8 Juni 2005 dan memilih bergabung dengan Partai Demokrat, bentukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang saat itu, Pilpres 2004, SBY terpilih sebagai Presiden RI ke-6. Anas langsung mendapatkan jabatan Ketua Divisi Otonomi Politik dan Daerah DPP Partai Demokrat. Karier politik Anas makin terbuka. Pada Pemilu 2009, Anas ikut mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Ia terpilih dengan memperoleh suara terbanyak untuk daerah pemilihan Jawa Timur VII (Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung) dengan meraih 178.381 suara. Ia pun menjadi Ketua Fraksi Demokrat di DPR RI periode 2009-2014. Posisi Anas di DPR dan partai terbilang strategis. Ia pun mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Pada kongres di Bandung, 20-23 Mei 2010, mantan ketua Umum PB HMI ini berhasil mengungguli perolehan suara calon lain Andi Malarrangeng dan Marzuki Alie. Anas pun dilantik sebagai Ketua Umum dan Edi Baskoro Yudhoyono sebagai Sekjend DPP Partai Demokrat 2010-2015.
Karier Anas pun makin moncer. Ia menjadi salah ketua Partai termuda yang memiliki masa depan yang gemilang dalam kancah politik Indonesia. Anas Urbaningrum digadang-gadang menjadi bakal calon presiden dari generasi anak muda pada Pilpres yang akan datang. Sayang, setelah menjabat setengah periode sebagai ketua partai, Anas tersandung kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, Bogor. Kasus ini tercium KPK atas pernyataan Bendahara Umum Demokrat Nazarudin yang tersandung kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang. KPK pun menyatakan Anas tersangka. Atas sangkaan tersebut, pada 2013, Anas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, dan keluar dari Fraksi Demokrat karena telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia pun divonis bersalah dengan tuntutan 7 tahun penjara. Hukuman Anas makin berat, setelah kasasinya ditolak, ia divonis 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp57 Miliar. Anas Urbaningrum mengajukan PK pada Juli 2018. Mantan Ketum HMI itu keberatan dengan hukuman 14 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti atas uang yang dikorupsi Rp 57,5 miliar yang diterimanya di tingkat kasasi. PK Anas baru diputus pada 2020. Majelis kasasi MA yang dipimpin Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial Agung Sunarto yang beranggotakan Andi Samsan Nganro dan M. Asikin memutuskan hukuman Anas dikurangi hampir 50 persen untuk pidana penjara dan berkurang berlipat-lipat pada jumlah denda pada tingkat kasasi yang juga diadili oleh MA. Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 8 tahun ditambah denda Rp300 juta subsidair tiga bulan ditambah pencabutan hak politik untuk dipilih setelah menjalani pidana pokok selama 5 tahun.
Apakah kasus Hambalang ini sungguh menjadi Kuburan Politik bagi Anas Urbaningrum, rasanya masih prematur untuk mengatakan Ya. Gerbong baru untuk menyiapkan karpet merah bagi Anas Urbaningrum telah dibuat yaitu Partai Kebangkitan Nasional (PKN), sebuah partai nasionalis yang didirikan pada tanggal 28 Oktober 2021 bertepatan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda. PKN didirikan para loyalis Anas Urbaningrum, beberapa loyalis Anas yang menjadi bagian PKN antara lain mantan anggota DPR dari Fraksi Demokrat Mirwan Amir, eks pengurus Demokrat Ian Zulfikar, aktivis HMI Asral Hardi, wartawan dan fotografer Bobby Triadi, serta Sri Mulyono yang kini menjabat sekretaris jenderal PKN. Ketua Umum dijabat sahabat Anas Urbaningrum, I Gede Pasek Suardika, politisi tulen asal Bali itu memang dikenal sangat loyal kepada Anas. Saking loyalnya dia kemudian disingkirkan dari Partai Demokrat. Padahal waktu itu Gede Pasek merupakan politisi yang memiliki karir cukup moncer.
Saat itu, Demokrat mencoret nama Pasek karena dianggap melanggar kode etik. Ini berkaitan dengan jabatan Pasek sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), organisasi masyarakat yang didirikan Anas. Saat dikeluarkan dari Demokrat, Pasek menjabat sebagai Ketua Departemen Pemuda dan olahraga DPP partai berlambang bintang mercy itu. Tak hanya dipaksa angkat kaki dari partai, Pasek juga dicoret Demokrat dari anggota DPR.
Sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Gede Pasek Suardika mengatakan Anas Urbaningrum merestui langkah-langkah yang diambil pengurus PKN saat ini, banyak pihak mensinyalir lahirnya PKN ini untuk “menghidupkan kembali Anas Urbaningrum”, di dalam politik tak ada kematian abadi. Orang yang dinilai sudah mati, bisa hidup kembali. PKN sepertinya akan jadi landasan bagi come back nya Anas ke politik. Apalagi di dalamnya banyak loyalis Anas yang masih sangat solid dan punya jejaring khususnya jejaring HMI, meskipun Anas lama mendekam di penjara, hal itu tak menutup kemungkinan bagi Anas untuk bisa kembali berpolitik. Minimal, setelah bebas Anas ada panggung politik yang disiapkan teman seperjuangannya.
Cerita dengan aktor yang berbeda namun nama hampir sama ditulis dilaman seaword.com “Revitalisasi Monas, ‘Kuburan’ Politik Anies Baswedan” tulisan dari Mora Sifudan. Membandingkan kasus hambalang menjadi kuburan politik Anas dan Revitalisasi monas menjadi kuburan politik Anis menjadi menarik. Kasus 2 aktor utama yang beda 2 huruf meski penyebutan bisa beda 1 huruf, antara Anas dan Anies. Syahdan, kawasan Monas akan menjadi lintasan E-Prix 2020. Intinya mengelilingi Monas. Kalau sesuai dengan perencanaan, maka jalanan di Kawasan Monas akan diaspal sesuai dengan kebutuhan Formula E. Dan sudah pasti akan ada perbaikan, renovasi dan penataan di beberapa bagian.
Walau menuai kontroversi mengenai keuntungan yang didapat tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan, Formula E rencananya akan tetap dilaksanakan. Kenapa harus tetap dilaksanakan? Dari sisi penyelenggaraan, sudah ada perencanaan dan penganggaran, maka tidak mungkin dibatalkan. Dari sisi politis, Formula E akan menjadi legacy (warisan) kebanggaan Anies – entah untuk Pilpres 2024 entah untuk Pilkada DKI 2024.
Meskipun akhirnya kita tahu bahwa lintasan Formula E akhirnya di bangun di kawasan Ancol disamping Stadin JIS yang menjadi kebanggaan Anis. Ajang Formula E pun telah usai dengan meninggalkan cerita-cerita minor mulai dari soal comitment fee, pembangunan yang tidak sesuai standar, ambruknya panggung utama, termasuk dugaan korupsi yang sedang di sorot oleh KPK. Janji Anies mengatakan Formula E merupakan upaya untuk membawa Jakarta ke panggung internasional. Formula E dapat mengundang turis untuk mengunjungi Jakarta dan penonton di luar negeri melalui televisi internasional pun tidak terbukti. Namun yang pasti revitalisasi monas dengan mengorbankan 190 pohon yang ditebang ternyata tidak menjadi kuburan politik bagi Anies sebagaimana statemen yang disampaikan Mora Sifudan. Justru kita tahu Formula E yang sudah terlaksana dengan “apa adanya” tersebut menjadi salah satu “prestasi” Anies yang di banggakan sebagai catatan emas rekam jejak selama menjabat sebagai Gubernur DKI
Politik Kuburan
Fenomena budaya ziarah kubur sudah lazim dilakukan dimana-mana, terutama dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam tradisionalis. Sarjana kuburan (Sarkub) adalah salah satu fenomena baru tersebut, istilah ini akrab di kalangan santri atau yang lebih luas kaum Nahdliyin untuk menyebut orang-orang yang hobi ziarah ke makam para wali atau ulama besar. Mereka yang telah bertahun-tahun ziarah dari satu makam ke makam lainnya biasanya dipanggil sarkub alias Sarjana Kuburan16. Beragam tujuan tentunya yang diharapkan ketika “melangitkan” doa di tempat-tempat yang dianggap keramat ini. Dari yang sekadar untuk ngalap berkah hingga ingin hajatnya segera terkabul ketika berdoa di makam orang-orang yang dekat dengan Sang Khaliq. Salah satu tokoh bangsa yang hobi berziarah adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika ditanya tentang hobinya tersebut beliau menjawab Ketika Gus Dur ditanya hobinya ke kuburan itu, Gus Dur menjawab, bahwa dikuburan tak ada ghibah, tak ada fitnah, dan lebih dari itu, mengingatkan pada akhirat.
Apa hubungan ziarah kubur dan politik praktis? Syahdan, politik kuburan ini pernah diterapkan oleh Presiden RI ke-4 sehingga dirinya dihormati berbagai kelompok masyarakat secara luas di negeri ini, baik ketika masih hidup mau pun sudah meninggal. Menurut Gus Dur dengan ziarah kubur, ia bisa berkomunikasi dengan yang diziarahi dan alasan kedua politik praktis, kok bisa?, Menurut Gus Dur, dengan menghormati makam, orang-orang yang menghormati makam pun akan menghormatinya. Sudah kebiasaan Gus Dur, jika datang ke suatu tempat ia akan bertanya siapa tokoh yang dihormati. Setelah mendapat jawaban, dia akan bertanya siapa lagi yang lebih dihormati. Mungkin ayahnya atau kakeknya. Maka Gus Dur pun menziarahi makam orang itu.
Sudah menjadi kewajaran ketika seseorang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan Legislatif maupun Eksekutif, maka orang tersebut akan melakukan ritual ziarah terhadap makam para leluhurnya, makam wali, makam para pahlawan, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat yang memiliki peran terhadap bangsa dan negara. Contoh yang paling jelas dan masih eksis sampai sekarang ialah dalam kasus pemilihan kepala desa, dimana setiap calon kepala desa seakan berlomba-lomba untuk ziarah dan nyekar ke kuburan-kuburan leluhur tersebut. Hal demikian seakan menjadi alat legitimasi untuk mendapatkan simpati dan kekuatan dari masyarakat itu sendiri. Dalam penelitian Fred W. Clothey, legitimasi agama dalam suatu kekuasaan sangat berpengaruh, setidaknya dalam masyarakat Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dalam penelitian tersebut, Clothey menjelaskan bagaimana mitos-mitos dan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat India sangat berperan besar dalam pencapaian suatu kekuasaan. Bagaimana agama memberikan legitimasi, atau setidaknya kesempatan meraih kekuasaan, atau dalam hal ini ialah kesempatan politik. Menarik dikemukakan perilaku ziarah yang dilakukan politisi tentu saja berbeda dengan konvensional ziarah yang dilakukan masyarakat umumnya karena politisi memiliki makna tersendiri ketika berziarah. Untuk pengalaman ziarah politisi atau politik kuburan biasanya terjadi misalnya berkaitan dengan momen politik seperti Pemilukada dan Pileg. Penting dikemukakan sebagaimana tradisi ziarah politisi yang berbeda dengan jamaah umumnya, maka perilaku ziarah yang dilakukan politisi biasanya juga berbeda dengan apa yang dilakukan jamaah lainnya.
Fakta tersebut juga terjadi dengan apa yang terjadi pada Indonesia pada umumnya. Bagaimana aktifitas ritual Ziarah dijadikan sebagai suatu ajang mendapatkan legitimasi dan simpati publik dari masyarakat. Menurut Bourdieu, modal tidak semata-mata uang seperti pada kegiatan ekonomi, akan tetapi ada hal-hal lain yang juga cukup berharga untuk dijadikan modal. Bentuk modal lain yang dijadikan sebagai alternatif modal, budaya misalnya. Fungsi budaya bisa dijadikan sebagai modal kultural, tentunya ritual ziarah masuk dalam diskusi ini. Budaya ziarah pada masyarakat bisa dianggap sebagai bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial (manusia). Namun demikian, seharusnya fenomena keagamaan seperti ritual ziarah semakin hilang digerus struktur modernitas yang terjadi, tergerusnya budaya ziarah tersebut dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa ketika dunia sudah modern, maka seharusnya dunia diisi oleh orang-orang yang penuh dengan rasionalitas. Rasionalitas ini bukan ditunjukan dengan hal-hal yang bersifat konyol dan tidak masuk akal seperti dalam ritual ziarah. Meskipun pada kenyataannya, ritual ziarah masih bertahan dan eksis sampai sekarang.
Politik Kuburan Lima Tahunan
Setiap menjelang pemilihan umum baik pileg, pilpres maupun pilkada, para calon politisi banyak yang berziarah ke makam keramat. Beberapa makam keramat yang dikunjungi oleh para calon politisi adalah makam para tokoh politik di masa lalu dan ulama-ulama. Ziarah ke makam-makam keramat ini biasanya dilakukan oleh para politisi bersamaan dengan kunjungan mereka ke pesantren-pesantren. Sebut saja di tahun 2019, calon presiden petahana nomor urut 01 Joko Widodo misalnya sempat berziarah ke makam Sultan Banten dan makam para mantan presiden Republik Indonesia Soekarno dan Gus Dur. Selain itu, ia juga melakukan ziarah ke makam salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari bersama Gus Sholah dan Yenny Wahid. Hal serupa juga dilakukan oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Ia misalnya diberitakan berziarah ke makam Soekarno, Gus Dur, Sunan Ampel, dan salah satu pendiri NU KHR. As’ad Syamsul Arifin.
Praktik serupa sebenarnya dilakukan oleh para calon anggota legislatif. Ziarah makam seolah menjadi ritual wajib para caleg ini dari pemilu ke pemilu. Dari beberapa ziarah menjelang pemilu yang dilakukan oleh para aktor politik di atas, dapat dipertanyakan apakah ziarah ke makam para tokoh penting di masa lalu merupakan hal penting dalam berpolitik? Dan apakah para aktor politik tersebut benar-benar akan meneladani nilai yang dijunjung para tokoh yang diziarahi ataukah hanya ingin memenangkan golongan pengikut dari para tokoh yang diziarahi?. Masyarakat Indonesia pada dasarnya memang memiliki nilai moral yang tinggi terhadap makam atau kuburan, terutama makam dari tokoh-tokoh penting masyarakat. Alasan para politisi berziarah ke makam tokoh-tokoh keramat beberapa di antaranya adalah untuk berdoa dan seolah-olah meminta restu.
Selain itu, alasan lain yang umum dilontarkan mereka adalah untuk mengenang, meneladani, dan menghormati pahlawan bangsa. Seperti yang dilakukan Jokowi ketika berziarah ke makam Gus Dur misalnya, yang mana ia pernah mengakui bahwa ia memang meneladani nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keagamaan, dan toleransi dari sosok Gus Dur. Henri Chambert-Loir menulis dalam “The Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia” bahwa bagi masyarakat Indonesia tokoh-tokoh penting dan suci yang telah meninggal seolah-olah memiliki kekuatan untuk membimbing dan tidak ada pemimpin yang aman jika berjalan tanpa restunya. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa hal-hal rohaniah atau adiluhung masih diyakini memiliki intervensi terhadap hal-hal jasmani, yakni orang yang masih hidup. Dalam fenomena ini, para tokoh keramat yang diziarahi diyakini dapat memberi restu para aktor politik yang menggelanggang di tahun politik ini.
Mengenai penghormatan terhadap para tokoh, Chambert-Loir dan Claude Gulillot mengatakan bahwa hal itu adalah ‘jembatan penghubung’ antara yang masih hidup dengan yang sudah mati dan berada di alam yang tidak bisa dijangkau. Penghormatan ini dibutuhkan oleh manusia, yang mana manusia memang membutuhkan hal-hal rohaniah demi membimbingnya dalam kehidupan yang penuh dengan misteri, dan ini dapat mengandalkan orang yang telah mendahuluinya.
Jika dikaitkan kembali dengan fenomena para aktor politik yang ramai-ramai berziarah menjelang pemilihan, dapat dilihat bahwa mereka masih menyadari akan adanya hal-hal ilahiah, dan itu akan memengaruhi politiknya. Yang adiluhung seolah-olah ‘menyertai’ politik yang terjadi di masa kini. Pada dasarnya ziarah merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun, jika hal ini dilakukan di tahun politik dan dilakukan oleh para aktor politik, hal ini menjadi suatu fenomena yang disorot dan perlu ditelaah apa motif terselubung di baliknya.
Hal serupa diungkapkan dalam tesis milik Daniel C. Harris dari Northern Illinois University. Dalam tesis tersebut disebutkan bahwa tradisi ziarah menjadi bagian dari praktik kooptasi politik dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi politik dan membentuk identitas nasional. Jika diperhatikan, memang ada pola dalam kunjungan makam yang dilakukan oleh para politisi. Tokoh agama menjadi sosok yang paling lazim menjadi target ziarah para aktor politik tersebut. Makam para ulama sangat dihormati dan sering menjadi sasaran kunjungan ziarah para politisi. Sudah menjadi hal umum jika para calon pemimpin daerah dan negara yang bertarung dalam Pemilu sering datang ke pesantren-pesantren dan berziarah ke makam para ulama.
Entah untuk sekedar simbol budaya, mistik/perdukunan, pencitraan atau sekedar memperoleh pengakuan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan elit-elit politik ini sudah dilakukan sejak dulu. Ziarah kubur seakan mampu membawa dampak legitimasi politik. Seakan ada sebuah kekuatan supranatural yang kemudian diperoleh para kontestan politik setelah mereka melakukan ziarah kubur, sehingga mereka bertambah yakin bahwa kekuatan dirinya akan semakin diperhitungkan pihak lawan politik. Padahal, ziarah kubur sendiri dalam Islam, tidak harus dilakukan pada saat-saat seseorang dalam keadaan mengikuti kontestasi saja, tetapi bisa dilakukan kapanpun tanpa harus terikat oleh suatu peristiwa tertentu. Bisa jadi, lawatan ke kuburan bagi para kontestan ini justru karena ada bisikan gaib dari orang-orang dekatnya (dukun/paranormal) agar meminta restu kepada para tokoh dan pejuang terdahulu supaya dirinya di muluskan dalam segala jalan dalam menghadapi sebuah kontestasi politik dan mampu menciptakan kekuatan kharismatik kepada dirinya. Selain itu, alasan lain yang umum dilontarkan oleh mereka adalah untuk mengenang, meneladani dan menghormati para ulama, pejuang dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sulit dibedakan, mana tradisi keagamaan dan mana bentuk pencitraan politik, karena keduanya lebur dan masing-masing muatan ada dalam fenomena keduanya. Ziarah harus dimaknai sebagai upaya mendoakan dan bagian penghormatan atas jasa-jasa seseorang selama hidupnya. Namun, jika ziarah ini maknanya di reduksi untuk tujuan lain, tentu akan menjadi masalah. Apalagi jika digunakan untuk sekedar upaya membentuk citra diri. Panggung politik adalah ajang terbuka bagi para politisi untuk bertarung mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan serta jabatan, maka kerja politik adalah kerja yang berorientasi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan serta jabatan, seseorang dapat menempuh berbagai macam cara. Baik yang rasional maupun yang irasional.
Dengan melakukan ziarah, sebenarnya dapat dikatakan pula telah melakukan politik praktis. Gus Dur yang semasa hidup juga memang sering melakukan ziarah pernah mengakui bahwa dengan berziarah, si penziarah dapat ‘berkomunikasi’ dengan yang diziarahi. Kedatangan Gus Dur ketika berziarah membuat orang-orang yang menghormati makam keramat yang didatangi juga menghormati Gus Dur, karena ia menghormati makam itu. Hal itu tampaknya dapat dimasukan kembali ke dalam fenomena ziarah makam keramat yang dilakukan oleh para politisi sekarang ini. Mereka melakukan ini setiap menjelang pemilihan, dan perlu dipertanyakan apakah tujuan utama mereka adalah murni untuk ‘berkomunikasi’ dengan yang diziarahi ataukah untuk memperoleh dukungan dari pengikut tokoh yang diziarahi.