Harianjogja.com, SLEMAN- Puluhan warga Balong Bimomartani Ngemplak mendatangi bangunan yang selama ini digunakan untuk kegiatan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Minggu (11/9/2022). Mereka menolak aktivitas LDII di wilayah tersebut.
Juru bicara warga Mulyadi mengatakan keberadaan warga LDII tersebut dinilai meresahkan warga Tegal Balong. Pasalnya aktivitas warga LDII di tempat tersebut dinilai mengganggu ketenangan warga setempat. Apalagi selama pandemi Covid-19 aktivitas warga LDII dari luar daerah tersebut tidak berhenti. "Apalagi, warga LDII yang hanya 6 KK itu mendirikan tempat ibadah (masjid) di sini. Padahal di sekitar sini sudah banyak masjid dan musala," katanya di sela aksi.
Padahal, katanya, sejak awal datang mereka hanya ingin bermukim di wilayah tersebut dan bukan untuk mendirikan tempat ibadah sendiri. Selain itu, warga juga menyesalkan keberadaan saluran irigasi untuk persawahan yang melewati area perumahan mereka sering bercampur dengan sampah. "Sebenarnya kalau hanya bermukim tidak apa-apa. Boleh, kami tidak melarang. Pernah dulu ada anggota LDII saat kegiatan tirakatan 17 Agustusan menilai kegiatan itu sia-sia termasuk tahlilan," kata mantan Ketua RT 17 Tegal Balong ini.
Warga, katanya meminta aktivitas warga LDII yang melakukan kegiatan di kawasan tersebut dihentikan. Mereka meminta jaminan dari pemerintah hal tersebut bisa dipenuhi oleh warga LDII. Kedatangan warga pun dikawal oleh sejumlah aparat keamanan baik TNI/Polri dan Pemkab Sleman.
"Ya sebenarnya sudah mau kami gelar pertemuan antara LDII dengan warga. Namun warga sudah keburu mendatangi lokasi ini, menyampaikan aspirasinya langsung ke warga LDII," kata Dukuh Tegal Balong Sunaryo.
Saat ini, lanjutnya, masalah tersebut masih menunggu keputusan dari Pemkab Sleman. Setelah aksi tersebut, katanya, baik warga Tegal Balong maupun warga LDII menyepakati untuk menunggu keputusan dari Pemkab Sleman. "Jadi sementara warga LDII tidak melakukan aktivitas apapun sambil menunggu keputusan Pemkab," katanya.
Hal senada disampaikan Kapolsek Ngemplak, AKP Suharyanto. Dia berharap seluruh warga tetap menjaga suasana yang kondusif. Apalagi mereka hidup dalam satu padukuhan. Penyampaian aspirasi yang dilakukan warga akan dirapatkan dengan Pemkab Sleman. "Sembari menunggu keputusan dari pemerintah. Kami berharap semua menahan diri tidak boleh melakukan tindakan yang mengganggu ketentraman dan keamanan, tidak boleh anarkhis," katanya.
Terpisah, Mujiyono warga LDII di lokasi tersebut mengaku akan mematuhi kesepakatan sementara untuk menghentikan aktivitas LDII sembari menunggu keputusan dari Pemkab Sleman. Ia menjelaskan jika bangunan masjid tersebut sebenarnya sudah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) dari Pemkab.
"Bangunan itu sudah berizin dan memang kami bangun untuk kegiatan warga LDII. Memang banyak masjid juga di sini, tapi kalau kami gunakan untuk kegiatan kami justru nanti akan menimbulkan masalah," katanya.
Dia berharap Pemkab bijaksana menengahi kasus tersebut. Alasannya, LDII merupakan organisasi yang memiliki banyak kegiatan seperti organisasi lainnya. Warga LDII, katanya sudah diarahkan untuk taat pada peraturan pemerintah yang sah dan mengikuti kegiatan masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah.
"Kalau ada warga yang memaksa untuk menutup kegiatan organisasi ini ya itu artinya mereka memaksankan haknya. Kami tetap NKRI dan selama ini tidak merugikan kelompok tertentu," katanya.
Pengurus LDII pun menampik tuduhan warga. Ketua DPD LDII Kabupaten Sleman, Suwarjo, mengatakan keberadaan masjid di Tegal Balong yang dibina LDII menjadi salah satu yang dipermasalahkan oleh warga. Menurutnya masjid sudah berdiri sejak 2017 dan direnovasi pada 2019. Masjid tersebut mendapatkan penolakan dua kali.
"Kami paham benar dasar negara kami adalah Pancasila. Kebebasan beribadah dijamin Pancasila dan UUD 45 Pasal 29. Kebebasan beragama dan kepercayaan adalah hak warga negara," ucapnya Selasa (13/9/2022).
Suwarjo mengatakan beberapa pernyataan yang menyebut anggota LDII menganggap sia-sia perayaan 17 Agustus tidak benar. Dia menegaskan pada dasarnya LDII berasas Pancasila.
"Kami ingin warga LDII dan warga sekitar untuk ukhuwah ke depan. Sampai kapan mempertentangkan akidah? Enggak akan ketemu karena kita beragam. Kami mengambil hal yang untuk kebaikan," jelasnya.
Di Balong, menurutnya warga LDII sekitar enam keluarga, sisanya berasal dari kampung lain. LDII menyadari frekuensi kegiatan organisasi tersebut memang padat. Pengajian bisa tiga kali seminggu. Anggota yang masih muda bisa mengaji bersama lima kali dan anak-anak setiap sore.
Sementara, Ketua Dewan Penasehat di DPD LDII Kabupaten Sleman sekaligus Wakil Ketua DPW LDII DIY, Anji Sujiman,
menyampaikan mulanya yang dipermasalahkan warga Balon adalah izin. Namun begitu keluar izin, warha tetap mempermasalahkan dan mengajukan gugatan ke Bupati Sleman untuk menghentikan renovasi masjid.
Pada penolakan yang pertama, renovasi masjid sempat terhenti enam sampai tujuh bulan. Lantaran tidak ada kejelasan sampai kapan pembangunan berhenti, LDII melanjutkan renovasi dengan memberi tahu RT, RW, Desa Bimomartani, dan pihak lainnya.
"Kemudian ada penolakan lagi. Proses [renovasi] baru berjalan 40 persen. Kalau disuruh berhenti nanti sampai kapan lagi," paparnya.
Dia mengatakan pernyataan warga bahwa LDII menyebut peringatan 17 Agustus dan tahlil adalah kegiatan sia-siaan sulit dibuktikan. Sebab, orang yang disebut menyampaikan pendapat itu sudah meninggal dunia. "Sulit dibuktikan, tapi ini tidak penting. Kami minta maaf kalau memang ada, karena itu bukan ajaran LDII," ucapnya.