Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia tahun 2020 akan ditunda karena dampak dari pandemi corona / covid19 di Indonesia, release terakhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa Pilkada 2020 yang sedianya digelar pada bulan September 2020, karena pandemi virus corona, KPU sudah memutuskan menunda proses Pemilu. Empat proses yang tengah berjalan kemudian ditunda, yaitu Pelantikan PPS (Petugas Pemungutan Suara), verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pelantikan PPDP (Petugas Pemutahiran Data Pemilih), dan proses pemutakhiran data pemilih. Pemerintah melalui Menko Polhukam juga menyatakan bahwa Pilkada serentak akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember tahun 2020 sesuai dengan Perppu penundaan, yang seharusnya bulan September dibuat Perppu ditunda menjadi Desember, dan pemilihan pada bulan Desember tersebut berdasarkan kesepakatan tiga pihak, KPU sebagai penyelenggara, DPR sebagai wakil rakyat, dan pemerintah.
Pilkada serentak tahun 2020 ini sangat penting bagi partai-partai politik di seluruh Indonesia karena selain untuk mengisi posisi kepala daerah dengan kader-kader terbaik mereka juga terkait Pemilu 2024. Pilkada serentak tahun 2020 ini juga dijadikan ajang pemanasan sekaligus konsolidasi kekuatan partai-partai politik untuk menghadapi pemilihan umum legislatif dan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden 2024, meskipun Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2019 belum genap satu tahun bekerja.
Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Sleman, meskipun sangat berkaitan dengan konstelasi politik di tingkat nasional akan tetapi dinamika penjaringan dan pengajuan calon kepala daerah ternyata sangat dinamis. Banyak partai yang pada tingkat nasional seolah-olah terlihat saling beroposisi tetapi untuk menghadapi Pilkada serentak tahun 2020 ini mereka kemungkinan akan berkoalisi.
Sejauh ini pola paling umum yang terlihat dari koalisi partai-partai politik untuk menghadapi Pilkada serentak tahun 2020 adalah pola koalisi antara partai-partai yang dianggap “Nasionalis” dengan partai-partai yang dianggap “Agamis” sehingga ada premis jika koalisi adalah Nasionalis-Agamis ada ‘jaminan’ akan memenangkan Pilkada. Meskipun cara pandang partai-partai ini menurut penulis malah justru mengukuhkan cara pandang dikotomis yang memisahkan antara yang “Nasionalis” dengan “Agamis”. Seolah-olah jika ada calon dari partai yang “Nasionalis” maka calon tersebut pasti kurang religius sehingga perlu didampinggi oleh calon dari partai “Agamis”. Begitu juga sebaliknya, jika ada calon dari partai “Agamis” maka calon tersebut pasti kurang nasionalis dan menghayati Pancasila sehingga perlu didampinggi oleh calon dari partai “Nasionalis”. Politisasi dikotomi “Nasionalis” dan “Agamis” baik untuk menyerang lawan politik maupun sekadar untuk berkoalisi agar meraih lebih banyak lagi massa pemilih menurut penulis sudah saatnya untuk dihentikan.
Dalam konteks Pilkada di kabupaten Sleman pola koalisi Nasionalis-Agamis justru tidak terjadi bahkan berkebalikan, berkaca pada Pilkada 2015 pertarungan koalis yang terjadi adalah antara partai “Nasionalis” PDIP-Gerindra (Yuni Satia Rahayu–Danang Wicaksana Sulistya) melawan partai “Agamis” PAN, PKB, PPP, PKS, Demokrat, Nasdem, Golkar (Sri Purnomo – Sri Muslimatun) yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Sri Purnomo – Sri Muslimatun dengan perolehan suara 294.652 (56.66%), sedangkan pasangan Yuni Satia Rahayu – Danang Wicaksana Sulistya mempelorh suara 225.338 (43.34%).
Pola “Nasionalis” berhadapan “Agamis” ini naga-naganya akan terulang pada Pilkada 2020 di Kabupaten Sleman pada 9 Desember yang akan datang, karena sejauh ini partai politik yang bisa mencalonkan diri hanya PDIP (Nasionalis) dengan perolehan 15 kursi di DPRD Kabupaten Sleman (paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 10 kursi) , sehingga sangat percaya diri untuk mencalonkan Bupati dan Wakil Bupati, bahkan partai-partai mengalami kesulitan untuk melakukan lobi-lobi politik. Jika kondisi ini berlanjut hingga mendekati tahapan pendaftaran bakal calon, bisa dimungkinkan PDIP akan maju sendiri, atau menggandeng partai Gerindra seperti Pilkada 2015. Disisi lain partai-partai “Agamis” juga sudah secara intens melakukan komunikasi-komunikasi politik, beberapa diantaranya sudah membuat perjanjian kesepakatan bersama untuk berkoalisi. Sehingga “re-match” Pilkada 2015 akan terjadi lagi “Nasionalis” (PDIP, Gerindra) versus “Agamis” (PKS,PKB,PPP,PAN) ditambah Nasdem,Golkar.
Meskipun demikian, faktor kemenangan dalam Pilkada tidak linier dengan kekuatan koalisi partai politik, dalam banyak perhelatan pilkada karena yang dipilih adalah orang, maka faktor figur calon (elektabilitas) juga dijadikan salah satu faktor penentu kemenangan seorang kandidat yang diusung oleh koalisi partai-partai. Berdasar pada survey yang dilakukan oleh LSI di provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia, dihasilkan bahwa popularitas kandidat merupakan faktor penentu kemenangan yang signifikan dalam perhelatan pilkada, dibanyak tempat calon dari partai-partai besar tumbang oleh calon dari partai kecil, lantaran partai besar mengajukan calon yang tidak populer di masyarakat. Wallahu a’lam