Kebupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki tingkat populasi (jumlah penduduk) terpadat dengan perbandingan luas wilayah yang tidak sebesar kabupaten lainnya seperti Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo. Kenaikan jumlah penduduk yang paling banyak disumbang dari sektor pendidikan dan dalam hal ini adalah para mahasiswa, hal ini dikarenakan setiap tahunnya, lebih dari setengah mahasiswa tahun ajaran baru berasal dari luar kota atau daerah.
Berdasarkan data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman terdapat kurang lebih 1600 rumah kos yang telah terdata. Beberapa kecamatan di Kabupaten Sleman yang paling banyak terdapat pemondokan adalah kecamatan Mlati dan Depok. Sedangkan pemondokan yang belum terdata masih banyak dan belum terjamah dari pendataan Pemerintah Daerah Sleman. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal sementara maka tak khayal jumlah pemondokan tersebut akan semakin meningkat setiap waktu.
Semakin menjamurnya rumah kos di wilayah Sleman telah menjadi pekerjaan rumah baru bagi Pemerintah Daerah.
Permasalahan Pemondokan
Peningkatan jumlah penduduk “pendatang” khususnya mahasiswa di Kabupaten Sleman yang sering disebut penduduk non permanen, yaitu warga masyarakat yang ber KTP luar Kabupaten Sleman datang ke Sleman dengan tujuan sekolah atau bekerja dan mereka tinggal tetap kos (mondok) atau mengontrak di wilayah Sleman, membawa dampak permasalahan sosial dan ekonomi. Meskipun mereka adalah pendatang namun keberadaannya terkait dengan tempat tinggal telah diatur oleh undang-undang. UUD 1945 telah secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih tempat tinggal sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, pemerintah juga telah mengatur tentang tatacara pendataan penduduk non permanen tersebut dalam Permendagri No 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pendataan Penduduk Non Permanen. Terkait dengan penduduk non permanen ini, maka pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Sleman menerbitkan Peraturan Daerah Kabuaten Sleman N omor 9 tahun 2007 tentang Pemondokan dan kemudian disusul dengan keluarnya Peraturan Bupati Sleman Nomor 57 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pemondokan.
Meskipun telah ada regulasi tentang penduduk non permanen, namun kenaikan dan perkembangan pembangunan pemondokan (kos-kosan) di Kabupaten Sleman tersebut menimbulkan permasalahan negatif yang cukup mengkhawatirkan, banyaknya kasus narkoba, pergaulan bebas, peningkatan kejahatan, tidak tertibnya administrasi kependudukan. Disamping itu meningkatnya jumlah pemondokan menimbulkan permasalahan sosial yang cukup rawan, salah satu permasalahan sosial tersebut adalah pertemuan berbagai suku, budaya, ras, etnis yang sering menimbulkan gesekan sehingga perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah. Terutama pemondokan atau kos-kosan yang difungsikan sebagai asrama, dimana penghuninya hanya dari satu daerah atau satu etnis saja. Demikian pula asrama-asrama yang dibangun oleh pemerintah daerah diluar Provinsi DIY yang
dikhususkan bagi mahasiswa-mahasiswa dari daerah asal pemerintah daerah tersebut, banyak menimbulkan gesekan-gesekan antar mahasiswa diluar asrama.
DPRD Kabupaten Sleman saat ini tengah mengusulkan 4 rancangan peraturan daerah inisiatif dan salah satunya adalah Raperda Tentang Penyelenggaraan Pemondokan untuk mengganti Peraturan Daerah Kabuaten Sleman Nomor 9 tahun 2007 tentang Pemondokan yang dipandang sudah kadaluwarsa dan perlu penambahan pasal-pasal yang disesuaikan dengan Permendagri No 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pendataan Penduduk Non Permanen. Pembahasan tentang raperda tersebut sekarang sedang di godok oleh panitia khusus dan sedang dilakukan sosialisasi (public hearing) dimana penulis menjadi salah satu anggota pansus Raperda Tentang Penyelenggaraan Pemondokan tersebut. Salah satu tujuan dari raperda tersebut juga dalam rangka mengantisipasi perbagai permasalahan terkait dengan pemondokan, dimana pemondokan harus memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar, melestarikan dan mengembangkan tata nilai budaya luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat, menjaga ketenteraman dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, serta mengatasi permasalahan sosial yang timbul karena interaksi sosial antarkultur, dan melakukan pembinaan dan pengawasan dalam Penyelenggaraan Usaha Pondokan.