Dinamika seputar pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sleman di bulan September 2020 nanti, sungguh menarik untuk dicermati. Bupati petahana, Sri Purnomo, sudah tidak bisa mengikuti kontestasi Pilkada Sleman lagi, mengingat sudah menjabat dua periode, namun ada kemungkinan akan melanggengkan dinasti kepemimpinan di Sleman dengan mengajukan istrinya sebagai bakal calon bupati. Medan pertarungan menuju Sleman-1 pun hingga saat ini relatif terbuka dan dinamis, beberapa bakal calon sudah mulai muncul meski belum melakukan deklarasi secara resmi, salah satunya adalah Sri Muslimatun yang memiliki peluang cukup besar karena sebagai Wakil Bupati petahana, pun demikian dengan calon-calon lain yang bermunculan seperti Mumtaz Rais, Agus Choliq, Suprihanto, Sugiyanto dll. Untuk menakar potensi dalam pilkada Sleman 2020, perlu bagi kita mencermati peta koalisi yang bakal terjadi, peluang tiap kubu, dan apa implikasinya untuk warga Sleman.
Dalam membaca peta politik menyongsong Pilkada Sleman 2020 usai Pemilu 2019, tentu akan terlihat lebih mudah dibaca ketika partai politik telah memberikan rekomendasi pilihannya kepada bakal calon nanti, meskipun hingga saat ini hanya PAN yang memberikan rekomendasinya kepad Mumtaz Rais. Akan tetapi tidak ada salahnya bila kita menakar peta politik di Sleman ini dengan menggunakan data perolehan suara Pemilu 2019 sebagai bahan referensi maupun gambaran koalisi yang bakal dibentuk oleh partai-partai politik di DPRD Kabupaten Sleman.
Nah, melihat peta politik di Sleman, diprediksi bahwa jumlah paket pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati nantinya, sekitar 2-3 paket di luar jalur independen. Hasil Pemilu 2019, khususnya Pileg DPRD Sleman, hanya partai PDIP yang sudah memenuhi persyaratan untuk bisa mencalonkan pasangan bakal calon bupati (bacabup) dengan perolehan suara 183.586 (15 kursi) sehingga PDIP dengan percaya diri tidak menggandeng partai lain dalam pilkada 2020 ini. Sedangkan sesuai dengan jumlah suara dan kursi, semua partai di luar PDI-P harus berkoalisi, termasuk dengan sejumlah parpol yang tidak memiliki kursi. Pada pileg 2019 urutan kedua setelah PDIP adalah PAN 94.015 (6 kursi), kemudian Gerindra 72.171 (6 kursi), PKB 71.147 (6 kursi), PKS 67.130 (6 kursi), Nasdem 51.230 (3 kursi), Golkar 45.711 (5 kursi )dan PPP 32.951 (3 kursi).
Sejatinya dalam proses penentuan alat kelengkapan dewan pada awal khitmad DPRD Sleman sudah muncul peta koalisi partai dalam memperebutkan posisi-posisi strategis di DPRD, dengan dua kekuatan besar PDIP-Gerindra melawan koalisi Santun Plus (PAN,PKB, PKS,Nasdem dan PPP), sayangnya koalisi ini tidak permanen dan tidak berlanjut dalam Pilkada 2020, dalam perkembangannya PDIP percaya diri dengan kekuatannya, kemudian PAN dan Gerindra menjalin komunikasi secara intensif, disisi lain PKB-PKS-Golkar-Nasdem juga tengah melakukan lobi-lobi untuk membentuk koalisi. Meskipun gambaran ini masih sangat mungkin berubah, dikarenakan penentu koalisi adalah DPP masing-masing partai. Jika asumsinya adalah PDIP (15 kursi) melawan PAN-Gerindra (12 kursi) dan PKB-PKS-Golkar-Nasdem (20 kursi) minus PPP (3 kursi), maka secara kuantitatif koalisi besar PKB-PKS-Golkar-Nasdem akan berpeluang paling besar untuk memenangkan Pilkada 2020 di Sleman. Disisi lain peran ormas keagamaan juga menjadi faktor penentu dalam pilkada di beberapa daerah, demikian pula di Kabupaten Sleman, dua ormas besar (NU dan Muhamadiyah) memiliki basis masa yang cukup besar sehingga menjadi pertimbangan bagai partai-partai politik dalam menentukan bakal calonnya. Dalam catatan beberapa kali pilkada di Kabupaten Sleman pemenangnya adalah koalisi yang menggandeng dua kekuatan ormas tersebut meskipun tidak secara struktural karena tidak berpolitik praktis.
Dalam perhelatan pilkada karena yang dipilih adalah orang, maka faktor figur calon (elektabilitas) juga dijadikan salah satu faktor penentu kemenangan seorang kandidat yang diusung oleh koalisi partai-partai. Berdasar pada survey yang dilakukan oleh LSI di provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia, dihasilkan bahwa popularitas kandidat merupakan faktor penentu kemenangan yang signifikan dalam perhelatan pilkada. Perolehan suara dalam pemilu legislatif partai-partai koalisi tidak selalu linier dengan perolehan suara dalam pilkada, dibanyak tempat calon dari partai-partai besar tumbang oleh calon dari partai kecil, lantaran partai besar mengajukan calon yang tidak populer di masyarakat. Sejauh ini nama-nama yang muncul diberbagai media di Kabupaten Sleman adalah Sri Muslimatun yang menggandeng Agus Choliq sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati yang diusung oleh PKB-Nasdem, dua partai lain Golkar dan PKS dalam penjajagan untuk bergabung, PDIP belum muncul rekomendasi dari DPP, namun muncul di masyarakat nama Kustini SP, Suprihanto dan Sugiyanto, sedang PAN yang telah memutuskan Mumtaz Raiz sebagai calon Bupati dan telah menjalin komunikasi dengan Gerindra sebagai syarat kecukupan kursi minimal pendaftaran.
Pilkada Sleman kali ini diprediksi bakal sengit karena bakal digelar hanya dengan satu putaran sesuai amanah undang-undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian direvisi dan disahkan menjadi Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah, bahwa syarat dukungan perseorangan (independen) minimal 10 persen dari jumlah DPT (daftar pemilih tetap). Dan sayarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari jumlah suara sah pada Pileg DPRD. Ambang batas kemenangan dihapus alias nol persen, artinya pemenang adalah peraih suara terbanyak. Dengan demikian, pilkada hanya berlangsung satu putaran. Bila raihan suara sama, maka penentuan pemenang dengan sebaran perolehan suara masing-masing calon. Wallahu a’lam
Dalam membaca peta politik menyongsong Pilkada Sleman 2020 usai Pemilu 2019, tentu akan terlihat lebih mudah dibaca ketika partai politik telah memberikan rekomendasi pilihannya kepada bakal calon nanti, meskipun hingga saat ini hanya PAN yang memberikan rekomendasinya kepad Mumtaz Rais. Akan tetapi tidak ada salahnya bila kita menakar peta politik di Sleman ini dengan menggunakan data perolehan suara Pemilu 2019 sebagai bahan referensi maupun gambaran koalisi yang bakal dibentuk oleh partai-partai politik di DPRD Kabupaten Sleman.
Nah, melihat peta politik di Sleman, diprediksi bahwa jumlah paket pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati nantinya, sekitar 2-3 paket di luar jalur independen. Hasil Pemilu 2019, khususnya Pileg DPRD Sleman, hanya partai PDIP yang sudah memenuhi persyaratan untuk bisa mencalonkan pasangan bakal calon bupati (bacabup) dengan perolehan suara 183.586 (15 kursi) sehingga PDIP dengan percaya diri tidak menggandeng partai lain dalam pilkada 2020 ini. Sedangkan sesuai dengan jumlah suara dan kursi, semua partai di luar PDI-P harus berkoalisi, termasuk dengan sejumlah parpol yang tidak memiliki kursi. Pada pileg 2019 urutan kedua setelah PDIP adalah PAN 94.015 (6 kursi), kemudian Gerindra 72.171 (6 kursi), PKB 71.147 (6 kursi), PKS 67.130 (6 kursi), Nasdem 51.230 (3 kursi), Golkar 45.711 (5 kursi )dan PPP 32.951 (3 kursi).
Sejatinya dalam proses penentuan alat kelengkapan dewan pada awal khitmad DPRD Sleman sudah muncul peta koalisi partai dalam memperebutkan posisi-posisi strategis di DPRD, dengan dua kekuatan besar PDIP-Gerindra melawan koalisi Santun Plus (PAN,PKB, PKS,Nasdem dan PPP), sayangnya koalisi ini tidak permanen dan tidak berlanjut dalam Pilkada 2020, dalam perkembangannya PDIP percaya diri dengan kekuatannya, kemudian PAN dan Gerindra menjalin komunikasi secara intensif, disisi lain PKB-PKS-Golkar-Nasdem juga tengah melakukan lobi-lobi untuk membentuk koalisi. Meskipun gambaran ini masih sangat mungkin berubah, dikarenakan penentu koalisi adalah DPP masing-masing partai. Jika asumsinya adalah PDIP (15 kursi) melawan PAN-Gerindra (12 kursi) dan PKB-PKS-Golkar-Nasdem (20 kursi) minus PPP (3 kursi), maka secara kuantitatif koalisi besar PKB-PKS-Golkar-Nasdem akan berpeluang paling besar untuk memenangkan Pilkada 2020 di Sleman. Disisi lain peran ormas keagamaan juga menjadi faktor penentu dalam pilkada di beberapa daerah, demikian pula di Kabupaten Sleman, dua ormas besar (NU dan Muhamadiyah) memiliki basis masa yang cukup besar sehingga menjadi pertimbangan bagai partai-partai politik dalam menentukan bakal calonnya. Dalam catatan beberapa kali pilkada di Kabupaten Sleman pemenangnya adalah koalisi yang menggandeng dua kekuatan ormas tersebut meskipun tidak secara struktural karena tidak berpolitik praktis.
Dalam perhelatan pilkada karena yang dipilih adalah orang, maka faktor figur calon (elektabilitas) juga dijadikan salah satu faktor penentu kemenangan seorang kandidat yang diusung oleh koalisi partai-partai. Berdasar pada survey yang dilakukan oleh LSI di provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia, dihasilkan bahwa popularitas kandidat merupakan faktor penentu kemenangan yang signifikan dalam perhelatan pilkada. Perolehan suara dalam pemilu legislatif partai-partai koalisi tidak selalu linier dengan perolehan suara dalam pilkada, dibanyak tempat calon dari partai-partai besar tumbang oleh calon dari partai kecil, lantaran partai besar mengajukan calon yang tidak populer di masyarakat. Sejauh ini nama-nama yang muncul diberbagai media di Kabupaten Sleman adalah Sri Muslimatun yang menggandeng Agus Choliq sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati yang diusung oleh PKB-Nasdem, dua partai lain Golkar dan PKS dalam penjajagan untuk bergabung, PDIP belum muncul rekomendasi dari DPP, namun muncul di masyarakat nama Kustini SP, Suprihanto dan Sugiyanto, sedang PAN yang telah memutuskan Mumtaz Raiz sebagai calon Bupati dan telah menjalin komunikasi dengan Gerindra sebagai syarat kecukupan kursi minimal pendaftaran.
Pilkada Sleman kali ini diprediksi bakal sengit karena bakal digelar hanya dengan satu putaran sesuai amanah undang-undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian direvisi dan disahkan menjadi Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah, bahwa syarat dukungan perseorangan (independen) minimal 10 persen dari jumlah DPT (daftar pemilih tetap). Dan sayarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari jumlah suara sah pada Pileg DPRD. Ambang batas kemenangan dihapus alias nol persen, artinya pemenang adalah peraih suara terbanyak. Dengan demikian, pilkada hanya berlangsung satu putaran. Bila raihan suara sama, maka penentuan pemenang dengan sebaran perolehan suara masing-masing calon. Wallahu a’lam