Dalam benak kita sebenarnya ada kesadaran, bahwa selama ini
peran para petani lah yang telah memberikan kontribusi yang nyata dalam
kehidupan kita, karena dari petani kita bisa mendapatkan pemenuhan kebutuhan
pangan yang merupakan kebutuhan paling dasar (primer) dari setiap manusia, kita
masih bisa hidup tanpa kebutuhan yang lain, sandang (pakaian) maupun papan
(rumah) tetapi kita tidak bisa hidup tanpa pangan. Namun kesadaran kita
terhadap peran petani yang menjadi pahlawan pangan tersebut semakin luntur bahkan
hilang, kita hanya tahu padi yang sudah beras dan dimasak menjadi nasi yang
kemudian disajikan dimeja makan dan kita konsumsi tanpa kita mau peduli
bagaimana jerih payah para petani berjuang untuk kita.
Seiring dengan laju pembangunan dan pertumbuhan penduduk
nasib petani semakin terpinggirkan, salah satu penyebabnya adalah alih fungsi
lahan yang semakin massif dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
sehingga menyebabkan lahan pertanian menyempit. Bila lahan pertanian semakin
menyempit maka petani pun terancam kehilangan pekerjaan sehingga menyebabkan
produksi beras menurun, disisi lain laju pertumbuhan penduduk semakin meningkat
yang menyebabkan kebutuhan beras tidak mencukupi sehingga pemerintah terpaksa
impor. Ditambah lagi perubahan pola makan kebanyakan masyarakat kita akibat
pemerintahan masa lalu yang membuka selebar-lebar kran impor terigu, sehingga
menyebabkan beralihnya pola makan kita dari beras sebagai makanan utama ke
terigu yang diimport dari negara-negara penghasil gandum seperti Australia dan
Kanada.
Terkait dengan semakin menyempitnya lahan pertanian di
Kabupaten Sleman baru saja dilakukan pembahasan oleh DPRD dan Pemeritah Daerah
terkait dengan Raperda Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang muaranya juga diharapkan mampu melakukan perlindungan
terhadap Petani khususnya dari sisi ketersediaan lahan pertanian, namun
kebijakan pembuatan Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan tersebut
belum menunjukkan keberpihakan Pemerintah Daerah secara serius dan hanya
setengah hati terhadap Petani. Salah satu alasan keberpihakan terhadap Petani
masih setengah hati tersebut adalah ketika Pemerintah Daerah lebih mendahulukan
“perlindungan lahan pertanian” daripada “perlindungan petani” sehingga yang
digunakan sebagai pijakan adalah UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan bukan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang
perlindungan dan pemberdayaan petani.
Dari latar belakang tersebut diatas, perlu dibangun
kesadaran bersama dari semua elemen masyarakat khususnya di Kabupaten Sleman,
seluruh pemangku kepentingan terutama anggota DPRD yang seharusnya berdiri
dibelakang rakyat yang mereka wakili dari daerah pemilihan masing-masing,
tentang keberpihakan kita terhadap petani yang semakin hari semakin tidak jelas
nasibnya. Berikut beberapa hal tentang petani yang harus kita jadikan renungan
bersama untuk berpihak dan melakukan pembelaan: Pertama: Para petanilah yang
gigih menyediakan pangan bagi kita semua, tidak hanya nasi saja, buah dan sayuran
yang membuat tubuh kita sehat, semuanya juga ditanam oleh para petani. Mereka
bekerja keras sejak menanam benih hingga memanennya. Kedua: Rata-rata petani di
Kabupaten Sleman adalah bertani tanpa lahan, karena realitanya memang tidak
memiliki lahan pertanian sendiri atau dengan kata lain mereka hanyalah buruh
tani. Ketiga: Peluh keringat petani masih dibayar murah, penghasilan buruh tani
di Kabupaten Sleman tidak lebih dari Rp.70 rb perhari coba dibandingkan dengan
buruh pabrik maupun buruh bangunan. Keempat: Generasi penerus terancam punah,
data BPS Sleman tahun 2013 (sensus pertanian) jumlah petani di Kabupaten Sleman
dengan usia 45-54 tahun sebanyak 135,3 ribu dan mengalami penurunan pertahun
sebesar 1 %, ditambah lagi semakin sedikit orang yang berminat menjadi petani.
Mayoritas penduduk kita, terutama generasi muda enggan berkecimpung atau
berusaha di sektor pertanian. Generasi muda saat ini lebih tertarik ke sektor
industri dan jasa, bahkan hamper tidak ada anak-anak ketika ditanya
cita-citanya menjawab, petani. Kelima: Akses para petani cenderung masih
dipersulit, bukan hanya infrastruktur dan teknologinya yang masih sederhana
dibandingkan negara-negara maju, akses terhadap kredit, pasar, dan permodalan
juga masih tergolong rendah. Keenam: Kebijakan dari pemerintah terkait anggaran
yang tidak berpihak pada petani, karena tidak populis dan hasilnya tida bisa
dinikmati secara langsung, kita bisa bandingkan dengan anggaran untuk
insfrastruktur yang begitu besar. Lihat anggaran gedung DPRD, renovasi kantor
bupati, pembangunan jalan dll, sedangkan anggaran untuk pengendalian hama tikus
saja masih belum sesuai dengan harapan petani. Wallahu a’lam
*Ketua LPPNU Kab. Sleman
*Ketua LPPNU Kab. Sleman