Sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (Islam), tugas dan tujuan utama Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya adalah dakwah, menegakkan hukum Tuhan di muka bumi. Hal ini sama saja sebenarnya dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan (Islam) lainnya di Nusantara. Namun satu hal yang membedakan NU dengan organisasi-organisasi lain tersebut. Yakni, sikap akomodatifnya terhadap budaya.
Paradigma keberagamaan masyarakat NU berpijak pada nilai-nilai keislaman universal yang tumbuh dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan seluruh umat Islam tradisionalis, khususnya dalam proses Islamisasi awal di Nusantara.
Paradigma ini dapat dilacak dalam epistemologi pemikiran keagamaan NU yang lekat dengan kelompok pemikiran keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah (Sunni). Pemikiran keagamaan Sunni berusaha memadukan antara corak pemikiran naqli (dogmatis-tekstualis) dan aqli (rasionalis-kontekstualis).
Dengan bekal paradigma tersebut, masyarakat NU dapat menempatkan diri sebagai bagian dari keragaman (pluralitas) ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Al-hasil, sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazzun), dan adil (ta’adul) menjadi pijakan dasar dalam segala motivasi dan perilaku masyarakat NU.
Hal inilah yang menghasilkan sikap akomodatif masyarakat NU, khususnya terhadap budaya lokal. Bagi NU, dalam kegiatan dakwah, budaya lokal bukanlah rival yang harus dibasmi. Justru, budaya lokal dianggap sebagai penunjang atau fasilitas dalam menyampaikan dakwah, sebagaimana dakwah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga yang menjadikan pertunjukan seni budaya lokal sebagai sarana dakwah.
Budaya lokal adalah peradaban kecil, sedangkan Islam adalah peradaban besar. NU mengibaratkan budaya lokal seperti aliran sungai kecil yang bisa menyatu dan menambah debit air sehingga menjadi sungai besar (peradaban Islam). Dari banyak budaya lokal itulah budaya Islam yang besar itu berasa. Tanpa sungai-sungai kecil tersebut, sangat sulit menemukan sungai-sungai besar.
Untuk dapat mengekstensifkan ruang wacana khittah NU, maka NU perlu memperhatikan kembali apa yang pernah difatwakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, bahwa posisi NU berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Untuk mengaplikasikan fatwa ini, NU tidak bisa tidak selalu meneguhkan politik kebudayaan. Kalau dicermati, sebenarnya politik kebudayaan inilah inti dari Khittah NU 1926. Sebab, meneguhkan politik kebudayaan dapat memungkinkan NU mengepakkan sayap dakwah dan pendidikannya selebar mungkin dalam segala aspek kehidupan tanpa merasa rikuh dan asing dengan masyarakat budaya setempat. Ini dapat dibuktikan dengan berperannya NU dalam segala bidang kehidupan, seperti bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hal itu merupakan keuntungan bagi siapa saja yang tekun mengembangkan politik kebudayaan.
Karena itu, tidak heran kalau dalam sejarah dan garis perjuangannya di Nusantara, NU tercatat sebagai organisasi yang terdepan dalam memperjuangkan multikulturalisme. Ya, NU menjadi pelopor adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dalam suatu komunitas skala besar, dan masyarakat mengakomodasi segala perbedaan budaya sehingga keunikan identitas masing-masing mereka diakui.
Hal ini menjadikan NU sebagai organisasi yang mampu merekatkan hubungan antarmasyarakat Nusantara yang majemuk, sehingga menguatkan persatuan bangsa dalam segala aspek pluralitasnya. Kalau mau jujur, dalam hal inilah jasa NU teramat besar.
Muktamar NU ke 33 di Jombang
Khittah NU 1926 masih sangat relevan dijadikan agenda pembahasan dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang Jawatimur. Pemulihan khitah NU bukan hanya berkaitan dengan politik praktis yang selama ini menjadi kajian-kajian dalam batzsul masail NU, politik hanya bagian dari sasaran khittah. Wacana untuk mengembalikan tatacara pemilihan rois syuriah adalah salah satu pembahasan yang menarik dalam rangka mengembalikan NU ke Khittah 1926, sebagaimana diketahui bahwa pemilihan rois syuriah pada muktamar ke 32 di Makasar tahun 2010 yang lalu pemilihan rois syuriah menggunakan mekanisme suara terbanyak, hal ini yang menimbulkan banyak persepsi yang berkembang di kalangan warga nahdliyin termasuk diantaranya paangandikan dari Gus Mus (KH Mustofa Bisri) Rois Syuriah PBNU sekaligus budayawan, yang mengatakan bahwa pemilihan rois syuriah dengan mekanisme suara terbanyak (voting) seperti pemilihan kepala
daerah, beliau juga mengatakan tidak sepantasnya kyai-kyai di adu-adu seperti pilkada. PBNU secara tersirat sudah mewacanakan untuk mengembalikan pemilihan rois syuriah dengan budaya NU dalam memilih pemimpin yaitu mekanisme AHWA ahlul halli wal aqdi yang merupakan perwakilan dari kyai-kyai sepuh kemudian bermusyawarah untuk menentukan rois syuriah.
Jadi, dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang, para muktamirin harus bisa memilih pemimpin yang mampu meneguhkan dan mengembangkan politik kebudayaan NU sebagai inti dari Khittah NU 1926. Wallahu a’lam.
* Wakil Bendahara PCNU Sleman